Kado Kotak Pandora “Rusia” Bekal Perang Baratayudha”
Merebaknya berita soal dokumen video skandal kejahatan keluarga Presiden Joko Widodo milik Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang dititipkan, dibawa, di akta notariskan, dan disimpan Connie Bakrie di Rusia, serta tertangkapnya buronan Paulus Tannos tersangka kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) di Singapura, hingga dugaan keterlibatan nama Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Terpilih Pramono Anung dalam kasus e-KTP, memang cukup mencengangkan public.
Bahkan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai, bahwa kesaksian dan keterangan buronan Paulus Tannos bisa sebagai jalan bagi KPK menjerat semua pihak yang ikut menerima duit panas korupsi e-KTP. Bahkan dugaannya bisa menyeret para aktor politisi PDIP termasuk Puan Maharani, Pramono Anung, hingga Ganjar Pranowo.
Semesta alam seolah ikut bekerja dengan ke-ghoib-annya menuntun negeri ini menuju masa depan lebih baik. Fenomenanya ditunjukkan dengan pertanda rentang jarak yang tidak berselang lama, antara saat KPK menetapkan Sekjen PDIP sebagai tersangka, dengan waktu tertangkapnya buronan Paulus Tannos tersangka kasus e-KTP di Singapura. Fenomena politik ini telah memicu public menduga dan menganalisisnya secara multi perspektif.
Bahkan, politisi partai Demokrat Benny K Harman menuliskan komentar di akun X-nya (Jumat, 27/12/2024) yang menyatakan “Senang mendengar berita ini. Ada tokoh politik yang siap perang terbuka melawan korupsi, juga siap korbankan jiwa dan raganya untuk bongkar dugaan skandal korupsi pejabat negara”. Semangat ini tentu sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo perang total melawan koruptor.
Kuasa dan Keserakahan
“Kekuasaan identik keserakahan”. Tagline ini menjadi kontroversi kalau supremasi hukum terjaga marwahnya, dan praktik demokrasi berlangsung normal. Ketika kedua syarat itu tidak terpenuhi, maka praktik Machtstaat sedang berlangsung dengan segala kehendak yang dipaksakan rezim penguasa. Sistem negara tidak lagi menempatkan hukum sebagai supremasi yang terbangun dengan fondasi nilai kemanusiaan, nilai demokrasi, dan nilai moral sosial.
Ranah politik-kekuasaan itu ditentukan melalui 3 (tiga) cara pencapaian, Pertama, terkait strategi negosiasi, Kedua, terkait peluang kompromi-konsolidasi, dan Ketiga, terkait pilihan sebagai/menjadi oposisi. Konsekwensi politik menjadi oposisi, apabila kalah dalam voting harus tunduk dan menerima serta berkewajiban menjalankan hasil keputusan secara patuh.
Kejatuhan Gus Dur semasa menjabat sebagai Presiden RI keempat, karena gagal strategi negosiasinya dengan para politisi dan ketua Parpol, pimpinan tertinggi TNI-Polri, dan komponen kelompok politik lainnya, sehingga strategi “kompromi-konsolidasi” bisa diwujudkan mayoritas anggota Legislatif untuk melawan “Maklumat Presiden Republik Indonesia 23 Juli 2001” yaitu (1) membekukan MPR dan DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, dan (3) membekukan Partai Golkar.
Berbeda dengan era pemerintahan Jokowi sebagai Presiden RI ketujuh. Strategi negosiasi yang dijalankan secara paripurna berhasil menggalang koalisi partai mayoritas di lembaga Legislatif selain PKS, dan bahkan mampu membangun kepercayaan dan kesepahaman dengan berbagai elemen politik (Ormas keagamaan, TNI-Polri, aktivis NGO, para mantan aktivis Gerakan Reformasi), sehingga setuju dan berkomitmen mengawal “Nawacita sebagai visi-orientasi politik kebangsaan” era pemerintahan Jokowi.
Andai ada penilaian selama rezim Jokowi berkuasa menimbulkan rusaknya demokrasi indonesia, ada previlage kepada para oligark untuk berbagai bisnisnya, penetapan PIK 2 sebagai PSN, hingga mewariskan berbagai persoalan kebangsaan secara akut, maka semuanya itu “ada kontribusi saham politik dari para pimpinan Parpol, para pimpinan Lembaga Komisioner, para pimpinan Lembaga Yudikatif, dan berbagai kelompok politik tertentu” yang dengan setia mendukung kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi.
Secara hukum ketatanegaraan, setiap keputusan dan kebijakan politik rezim Presiden siapapun, tentu disertai dokumen peraturan hukum dan perundangan-undangan sebagai landasan pelaksananannya. Sedangkan kedua jenis dokumen tersebut, prosenya dirancang hingga mendapat persetujuan bersama dari perwakilan pihak-pihak yang merepresentasikan lembaga eksekutif dan lembaga legislative.
Indikator kontribusi saham politik dimaksud, bisa dibuktikan dengan mulusnya proses perumusan hingga pengesahan UU tentang Omnibuslaw, UU tentang IKN, daftar seluruh PSN yang salah satunya projek PIK 2, tanpa ada hambatan berarti. Faktanya justru public terlambat sadar yang dianalogikan dengan istilah “nasi sudah menjadi bubur”.
Mencuatnya pemikiran public dan beberapa elite politisi dan pimpinan Parpol yang merasa dibohongi Presiden Jokowi, pertanyaannya, kenapa tidak ada satupun menteri kabinet dari Parpol yang tergabung dalam koalisi partai menyatakan mundur seperti yang terjadi di era rezim Soeharto sebelum dilengserkan? dan kenapa pernyataan dibohongi baru muncul setahun terakhir pemerintahan Jokowi?
Fenomena desakan public kelompok tertentu di berbagai media sosial yang meminta mantan Presiden Jokowi segera diadili atas semua kesalahannya, harus dikritisi secara proporsional sebagai potret dinamika politik biasa dalam sistem domokrasi. Mantan Presiden Soeharto juga menghadapi hal yang sama setelah gerakan reformasi mahasiswa 1998 berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.
Pertanyaannya adalah, Pertama, siapa yang bersedia menjadi pimpinan melakukan pelaporan atas semua kejahatan yang dituduhkan kepada mantan Presiden Jokowi? Kedua, melalui peradilan apa dan dimana proses peradilannya? Dan ketiga, siapa yang menyiapkan dan memastikan seluruh daftar kejahatan berikut bukti-bukti pendukungnya memenuhi unsur tindak kejahatan mantan Presiden Jokowi?
Andaikata terjawab ketiga pertanyaan di atas, dan ada subyek hukum bersedia menjadi “sosok pahlawan politik, pahlawan hukum, pahlawan moral-etik, pahlawan keadilan-sosial, dan pahlawan pembela hak rakyat yang tergusur tanahnya”, maka kehadiran “sosok Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Connie Bakrie” cukup representative dengan segala keberanian dan kapasitas intelektual yang dimilikinya. Ketersediannya akan mewakili public kelompok tertentu untuk proses peradilan mantan Presiden Joko Widodo bisa terwujud.
Implikasinya dengan konsekwensi politik yang berlaku, apabila cara pertama di atas tidak mungkin dijalankan karena alasan dan pertimbangan politik tertentu, maka cara kedua yang paling memungkinkan melalui gerakan reformasi jilid dua, atau gerakan revolusi merebut kursi kekuasaan secara inkonstitusional.
Secara politik-hukum, mewujudkan keinginan mengadili mantan Presiden Jokowi butuh energi sosial-politik sangat besar. Keinginan yang sama pernah terjadi pada mantan Presiden Soeharto. Saat itu,dasar hukumnya setelah MPR mengeluarkan Tap.MPR.No.XI/MPR/1998 yang berisi perintah pemberantasan KKN dan pemprosesan secara hukum semua kasus KKN, termasuk yang diduga dilakukan mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya.
Mantan Presiden Soeharto kemudian digiring ke peradilan pidana dengan tuduhan korupsi. Tetapi, jaksa penuntut umum tidak pernah bisa menghadirkan Soeharto ke persidangan karena dinyatakan sakit dengan keterangan dokter yang sah. Meskipun ada desakan publik menghadirkan mantan Presiden Soeharto ke persidangan pidana, sampai pada akhirnya Mei 2006 jaksa agung mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan perkara (SKP3).
Untuk dipahami, setelah UUD 1945 diamandemen (1999-2002), MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang bisa membuat Tap yang bersifat mengatur (regeling) setara dengan Tap.MPR.No.XI/MPR/1998 itu. MPR sekarang adalah lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lain dalam hubungan horizontal fungsional.
Menurut Tap.MPR.No.I/MPR/2003 (sebagai Tap terakhir MPR sebagai lembaga tertinggi negara), Tap.MPR.No.XI/MPR/1998 tetap berlaku sampai semua isinya dilaksanakan, atau digantikan UU yang substansinya sama dengan Tap tersebut. Harus juga diperhatikan bahwa Tap.MPR.No.XI/MPR/1998 itu berisi perintah pemberantasan KKN pada umumnya, yang bukan hanya menyangkut KKN mantan Presiden Soeharto saja.
Moralitas Bangsa
Persoalan bangsa yang dihadapi saat ini masih klasik. Prilaku individu dalam praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) masih relative tinggi di semua bidang level apapun. Bahkan ada fenomena menarik berkenaan prilaku pejabat negara yang seolah tidak memiliki efek jera, meskipun sudah relative banyak yang tertangkap KPK.
Sebenarnya ada apa dengan moral dan moralitas dalam kehidupan bangsa Indonesia saat ini? Di atas hukum, politik, dan ekonomi, seharusnya moral sebagai payung pengaman dari segalanya. Filsafat moral harus dibumikan menjadi landasan dalam kehidupan berkebangsaan. Sumber nilainya adalah Agama, Pancasila, dan Kebudayaan luhur Indonesia. Agar perjalanan bangsa tidak sekadar maju berdasar nilai guna, tetapi juga nilai kebenaran, kebaikan, dan keluhuran berlandaskan dasar filosofis Negara Indonesia.
Betapa pentingnya moral atau moralitas, bahkan ajaran agama seperti Islam menempatkannya sebagai risalah utama kenabian: Innama buitstu li utammima makatimal akhlak. Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Nabi sendiri disebut sebagai “berakhlak yang agung”.
Menurut Syaikh Musthafa Al-Ghilayini, bahwa bangun dan jatuhnya suatu bangsa atau negara tergantung akhlaknya. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya”.
Penyalahgunaan kekuasaan memang tidak selalu menyangkut uang, karena dengan kekuasaan itu setiap individu berpotensi melalukan kekerasan dalam bentuk verbal, ancaman jabatan, hingga pengabaian kewajiban tanggung jawab yang seharusnya dilakukan. Penyalahgunaan kekuasaan sangat berpengaruh dampak terhadap proses pembangunan moralitas bangsa, karena ada soal keteladanan.
Jika mencermati perseteruan internal elite partai PDIP yang telah mengotori ruang public dan memprovokasi personal saling berprasangka dan menghujat itu, potret fenomena ini menjadi bagian penting dalam memandang persoalan moralitas bangsa. Perseteruan itu melibatkan sosok pemimpin tertinggi negara, sosok pimpinan partai pemenang pemilu legislatif, dan sosok Sekjen PDIP yang seharusnya menjadi figure publik dengan semua keteladanannya.
Membangun Indonesia itu bukan hanya raga-fisiknya semata, ujar Mr Soepomo, sebab “Indonesia itu bernyawa”. Soekarno pidato 1 Juni 1945 bicara tentang Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung” yaitu sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi”.
Di dalamnya terdapat nilai dan modalitas luhur tentang keindonesiaan sebagaimana tercermin dalam lima sila Pancasila. Dalam bait lagu Indonesia Raya karya WR Soepratman dengan tegas dikumandangkan: “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah badannya”. Sila kedua Pancasila bahkan secara tegas terkandung nilai “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang memiliki dasar nilai pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Permasalahan moralitas itu tidak ada relevansi secara signifikan dengan tinggi dan rendahnya latar belakang pendidikan seseorang. Masalah moralitas itu ditentukan sejak pengajaran usia dini dari lingkungan keluar inti, dan komunitas interaksinya dalam hal cara berprilaku santun, menghormati, melindungi, mengayomi, dan membiasakan diri untuk menyampaiakan kata permisi, maaf, terima kasih, dan minta tolong.
Masalah moralitas bangsa ini memang sedang dihadapkan dengan persoalan Disrupsi kepemimpinan dan politik digital. Dampak disrupsi kepemimpinan menyebabkan rentannya apresiasi penghargaan dan pengormatan public kepada para pemimpin yang relatif miskin keteladanan. Sedangkan dampak disrupsi politik digital menyebabkan public merasa bebas tanpa memikirkan dampaknya dalam menyatakan pendapat maupun kehendaknya tanpa mengindahkan etika komunikasi santun kepada subyek sasarannya.
Dampak yang terjadi sekarang, terciptanya pola komunkasi public cenderung tidak produktif, bahkan mengarah destruktif, karena ada masalah cara meng-implementasi-kan gagasan, ketika harus berhadapan dengan alam pikiran yang berbeda dari dasar moral. Apakah pemikiran dan suara moral masih relevan dan didengar di tengah dunia yang didominasi alam pikiran pragmatisme, yakni pemikiran yang didasari bahwa yang benar dan baik itu yang berguna. Demikian juga dengan oportunisme, yaitu alam pikiran yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan diri, kroni, dan kelompok sendiri meski merugikan hajat hidup orang banyak.
Pada akhirnya, masalah pembangunan moral akan selalu terkendala soal strategi implementasi, bagaimana implementasinya dalam kebijakan negara dan praktik hidup berbangsa? Pada era Pemerintahan Soekarno-Hatta dikenal “Nation and Character Building”. Zaman Soeharto populer “Membangun Manusia Indonesia seutuhnya”. Pada era reformasi ada “Pembangunan Karakter Bangsa”.
Kado Kotak Pandora
Penggunaan “analogi kotak pandora” semata mewakili rasa penasaran public pada isi dokumen kejahatan mantan Presiden Jokowi milik Sekjen PDIP. Rasa penasaran itu semakin membuncah, ketika ada keinginan kelompok tertentu mengadili mantan Presiden Jokowi dengan tuduhan melakukan berbagai kejahatan selama menjalankan pemerintahannya.
Kotak Pandora adalah sebuah artefak dalam mitologi Yunani yang menceritakan tentang Pandora, wanita pertama yang diciptakan oleh para dewa. Para dewa memberikan kotak berisi segala macam keburukan kepada Pandora, dan menyuruhnya untuk tidak membukanya. Namun, Pandora tidak dapat menahan rasa ingin tahunya dan membuka kotak itu, sehingga melepaskan segala keburukan ke dunia.
Dalam bahasa modern, istilah “kotak Pandora” digunakan sebagai idiom menggambarkan “sumber masalah besar dan tak diinginkan” atau “sebuah hal yang tampak berharga namun sebenarnya adalah kutukan”. Benarkah informasi soal dokumen kejahatan mantan Presiden Jokowi milik Sekjen PDIP kalau dibuka akan menjadi kutukan bagi seluruh warga negeri ini?
“Kado kotak pandora” seolah menjadi barang keramat dan bertuah. Bagi siapapun yang memiliki, membawa, dan menyimpannya harus berhati-hati, karena bisa menimbulkan gejolak politik sangat luar biasa di Indonesia. Semoga saja, dokumen tersebut tidak sampai dibuka oleh pemerintah Rusia tempat dokumen tersebut disimpan saat ini.
Secara politik, kebenaran dokumen kejahatan mantan presiden Jokowi akan dipakai untuk alat negosiasi politik Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, tidak hanya dengan mantan Presiden Jokowi saja, tetapi juga kepada para para pimpinan Parpol, para elite lembaga Eksekutif, para pimpinan Lembaga Komisioner, para pimpinan Lembaga Yudikatif, dan berbagai kelompok politik tertentu yang dulu dengan setia mendukung pemerintahan Jokowi.
Andaikata kado kotak pandora memang punya daya ledak social-politik-hukum sangat luar biasa, maka kebenaran narasi pernyataan Connie Bakrie dalam tayangan potcast itu relevan dengan simpulan kolom interaktif majalah Tempo yang mengungkap “Kisi-kisi 10 Tahun Nawacita Jokowi dalam edisi khusus 10 Tahun Jokowi dari majalah Tempo yang menilik kembali janji-janji Jokowi pada masyarakat dari tahun 2014”.
Setelah sepuluh tahun pemerintahan Jokowi berjalan, saatnya memeriksa pencapaian Nawacita. Tempo mencatat setidaknya ada 18 dosa yang dilakukan pemerintah yang menyebabkan kemunduran demokrasi (democratic backsliding). 18 catatan ini jauh dari utopia yang digagas Jokowi dalam sembilan janjinya itu.
Basis ungkapan penilaian 18 catatan Tempo itu diambil berdasarkan uraian sembilan program prioritas dari dokumen yang diunggah tim kampanye Jokowi ke situs resmi Komisi Pemilihan Umum dan melakukan pemeriksaan fakta berdasarkan kata kunci pada setiap program prioritas. Tempo memverifikasinya dengan berbagai data publik yang kredibel untuk mengukur pencapaian Nawacita.
Analogi Perang Baratayudha
Perang Baratayudha merupakan perang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi. Perang Baratayudha adalah perang saudara antara Pandawa dan Kurawa, dua keluarga keturunan Barata. Perang ini dilatari upaya membebaskan dan mengalahkan kejahatan. Filosofi Perang Baratayudha adalah murka akan kalah dengan kejujuran, keberpihakan ilahi terhadap yang tertindas, dan perang untuk memusnahkan yang jahat.
Implikasinya dengan cerita perang Baratayudha ini, bisa dianalogikan dengan terjadinya konflik internal PDIP antara Jokowi, Megawati, dan Hasto Kristiyanto. Ending sementara dari konflik ini, dilakukan pemecatan terhadap Jokowi sebagai anggota kader PDIP dan ditetapkannya Sekjen PDIP sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus Harus Masiku.
Ketika mengkritisi perseteruan politik mantan Presiden Jokowi dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto melalui statemen kritik tajamnya secara terbuka, maupun pernyataan pembelaan Megawati Soekarnoputri kepada Sekjen PDIP dalam forum politik internal partai sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, nampak semakin terang benderang dugaan ada konflik personal-internal antar elite PDIP.
Meskipun mantan Presiden Jokowi anggota kader PDIP, tetapi negara tidak boleh terpengaruh bahkan terseret dalam konflik internal PDIP yang melibatkan Jokowi dengan Megawati dengan dugaan ada kaitannya dengan persoalan suksesi kepemimpinan PDIP. Fenomena kemunculan dukungan dari arus bawah secara sembunyi-sembunyi kepada Jokowi sebagai calon suksesor Megawati tidak bisa dipungkiri kebenarannya, karena ada kaitan dengan “politik balas budi atas previlage politik Jokowi” kepada para kader PDIP dengan berbagai pos jabatan selama satu dasawarsa berkuasa.
Konflik antar personal semakin menajam, ketika Jokowi menunjukkan sikap melawan perintah Megawati soal Capres-Cawapres di gelaran Pilpres 2024. Sikap politik Jokowi mendukung Prabowo-Gibran bukan tanpa alasan berikut kalkulasi politiknya. Salah satunya alasannya, karena Jokowi butuh jaminan keberlanjutan berbagai program pembangunan yang belum tuntas, diantaranya proyek pembangunan Ibukota Nusantara (IKN).
Paska gelaran Pilpres, diduga Megawati memerintahkan Sekjen PDIP melakukan kritik secara terbuka kepada Presiden Jokowi, yang bertujuan membangun opini publik seolah PDIP bersih dan tidak ikut bertanggung jawab dengan munculnya berbagai dampak sosial-ekonomi-politik-hukum akibat kebijakan pemerintahan Jokowi. Bahkan Sekjen PDIP melakukan framing politik soal pembangkangan Jokowi sebagai anggota kader PDIP kepada Megawati.
Sebaliknya, tindakan Jokowi untuk meredam dan menghentikan serangan yang dilontarkan Sekjen PDIP secara terbuka itu, diduga Jokowi melakukan lobby ketua KPK Setyo Budiyanto yang mendapat dukungan politik untuk pencalonannya sebagai pimpinan KPK mengangkat kembali kasus “Harun Masiku” yang berstatus buronan tersangka KPK.
Framing ketidak-patuhan Jokowi menjalankan perintah Megawati mendukung pencalonan Ganjar-Mahfud sebagai Capres-Cawapres telah membuka ruang tafsir politik tersendiri. Bagi kalangan internal PDIP, menilai dan memposisikan Jokowi sebagai kader pembangkang. Sedangkan bagi para pendukung Jokowi menilai sebagai wujud proporsionalitas dan kenegarawannya sebagai pemimpin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Implikasinya dengan kebenaran public tertentu menginginkan mantan presiden Jokowi diadili atas tuduhan berbagai kejahatan, maka dokumen kejahatan milik Sekjen PDIP yang dibawa, disimpan dan dinotariskan Connie Bakrie di Rusia sebagaimana pernyataan Connie Bakrie yang disampaikan lewat tanyangan potcast itu harus dibuktikan kebenarannya.
Memastikan kebenaran bukti dokumen video milik Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto itu, bisa dianalogikan sebagai upaya “pengumpulan amunisi dan senjata untuk menghadapi perang Baratayudha”. Sementara, komitmen pemerintahan Prabowo bertekad melakukan perang total terhadap korupsi, bisa dianalogikan sebagai “arena medan perang Baratayudha”. Sedangka posisi lembaga KPK dianalogikan sebagai “kuburan massal bagi para koruptor yang meninggal dalam perang Baratayudha”.
Andaikata dukungan politis Benny K Harman mewakili politisi partai Demokrat, maupun dukungan yang diberikan dari Politisi PKS Tifatul Sembiring lewat akun X-nya, (Sabtu, 28/12/2024) yang menyatakan “Gelar tikar, nobar sambil ngopi. Ayo buka semua, mas. Bacain satu persatu, siapa saja koruptornya. Penasaran juga nih” diterima oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, maka rakyat Indonesia akan mendapat keberkahan sebagai “kado Syariah” menjelang “Puasa Bulan Ramadhan dan Lebaran Iedul Fitri 2025”.
Meski demikian, jika isi dokumen rahasia sekjen PDIP Hasto Kristiyanto benar adanya, maka dugaannya sangat dimungkinkan terjadi “barter kasus hukum”. Skenario ini akan dipaksakan demi menyelamatkan semua pihak yang berseteru, sekaligus menjaga eksistensi elite birokrat dan politisi karena posisinya saat ini, serta stabilitas politik dalam negeri. Andai prediksi ini benar maka praktik Machtstaat memang suatu keniscayaan politik di negeri ini.
Simpulan
Keberlangsungan sebuah kehidupan itu sejatinya tergerak atau digerakkan oleh kata-kata. Motto atau prinsip hidup dalam bahasa modern itu, bisa jadi penggerak kehidupan kelompok social-komunitas tertentu. Kehidupan iti akan berakhir damai dan sejahtera, atau sebaliknya menjadi kekacauan dan menakutkan, semuanya ditentukan oleh kata-kata penggeraknya.
Fenomena adanya “Disrupsi Politik kepemimpinan Presiden Prabowo” sementara ini, jangan sampai membuat public terhipnotis dan lupa sesaat. Fakta itu ditunjukkan dengan adanya apresiasi positif dari public, ketika menyimak dan mengkritisi berbagai penyataan politik yang disampaikan dalam pidatonya dalam konfrensi internasional maupun kunjungan kenegaraan, pemberian kata sambutan dalam agenda kerja maupun sebagai undangan, hingga perintah penanganan kasus PSN PIK 2 yang cukup konteroversi itu.
Public memang berharap pemerintahan Prabowo berkomitmen mewujudkan visinya “Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045” secara konsisten. Visi tersebut dideskripsikan dengan suatu upaya “Mewujudkan Indonesia sebagai negara maju yang sejahtera, adil, berdaulat, dan berdaya saing global, dengan menciptakan pembangunan yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis inovasi, menuju peringatan 100 tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 2045”, yang dikemas dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran.
Untuk menggapai “Maju Menuju Indonesia Emas 2045” harus ada kesiapan terkait moralitas bangsa yang mumpuni. Moralitas bangsa menjadi kunci keberlangsungan berpolitik dan bernegara setiap warga negara, sehingga fungsi control social oleh public berjalan efektif dan efisien karena terbangunnya budaya malu dalam berkehidupan secara social- politik-budaya. Penulis : Kusnul
Bahan bacaan:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250124141801-12-1191101/kilas-balik-kasus-e-ktp-paulus-tannos-yang-ditangkap-di-singapura.
https://www.inilah.com/kesaksian-tannos-jadi-jalan-ungkap-peran-puan-ganjar-dan-pramono-di-kasus-e-ktp
https://antikorupsi.org/id/article/selesai-sudah-proses-hukum-pak-harto
https://tvmu.tv/membangun-moralitas-bangsa
https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=analogi+kotak+pandora
https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=pengertian+filsafat+kotak+pandora.
https://interaktif.tempo.co/proyek/ringkasan-10-tahun-nawacita-jokowi/
https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=filosofi+perang+baratayudha
https://www.youtube.com/watch?v=ih7gB-maG5c
file:///C:/Users/Owner/Downloads/1730172234814338.pdf


Post Comment