GEREJA DAN SPIRITUALITAS KEUGAHARIAN (Yeremia 7:1-15)

A. PENGANTAR
Keberagaman dan kesederhanaan adalah Theodoron (Pemberian), suatu keniscayaan yang suka atau tidak suka harus diterima. Keyakinan ini merupakan semangat yang terus menghayati etos pelayanan manusia dalam kehidupan itu sendiri. Keragaman telah menjadi ciri keluarga, jemaat, gereja/denominasi, agama-agama, dan masyarakat. Kegagalan menyikapi keragaman, kesederhanaan secara baik akan mengakibatkan disintegrasi atau perpecahan.
Pelayanan dalam gereja juga merupakan sebuah “Theodoron”(pemberian). Sebuah keniscayaan, sebuah anugerah, sebuah kebijaksanaan yang Allah anugerahkan dalam kehidupan berjemaat. Pelayan Gereja hadir untuk menciptakan kesederhanaan hidup yang mempunyai makna spiritualitas karena itu penting dalam menjaga dan merawat pelayanan itu sendir. Sebab itu kepada Pelayan dan Umat Gereja diserukan perlunya menghidupi spiritualitas keugaharian di tengah kemiskinan dan penderitaan umat. Apalagi dimasa sulit seperti pandemiK covid-19.
Pelayan gereja mestinya berbela rasa dan tidak menjadi nyaman di tengah kemiskinan dan atau kekayaan jemaat. Selain itu, gedung gereja yang megah dan mewah, dalam konteks kemiskinan umat dan masyarakat, menunjukkan belum diwujudkannya Spiritualitas Keugaharian di kalangan bergereja.
Olehnya itu, kita perlu mendayagunakan seluruh kapasitas yang dimiliki untuk menjadi tanda rahmat bagi gereja, bangsa dan alam. Hal ini dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari etos hidup yang konsumtif, pamer kemewahan dan kekuasaan, boros, eksploitatif, instan, dan tidak ramah lingkungan. Sebaliknya, gereja perlu hidup sederhana sesuai doa Yesus: “berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11).
Berdasarkan pemahaman ini, Saya mengambil tema Gereja dan Spiritualitas keugaharian untuk menuntun kita sebagai majelis jemaat / para pelayan dalam membangun semangat melayani dalam sikap kecukupan dan kesediaan berbagi dengan orang lain, untuk merawat kehidupan bersama.
A. ISI
I. GEREJA
1. Apa itu Gereja ?
a. Gereja Sebagai Orang Percaya (Pribadi)
Dalam bahasa Yunani, gereja disebut ekklesia (έκ, ek=keluar, κάλεω, kaleo = memanggil). Secara harafiah berarti memanggil keluar.
Yang menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah. Sehingga pengertian dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan masuk ke dalam terangNya yang ajaib (I Petrus 2:9-10). Atau secara singkat gereja adalah persekutuan orang-orang percaya.
b. Gereja Sebagai Persekutuan dan tempat bersekutu
Dalam perkembangan umat Tuhan, persekutuan yang diawali gereja mula-mula dirumah kemudian meluas dengan membentuk suatu komunitas persekutuan (Gereja). Walaupun kekristenan memahami bahwa gereja bukanlah gedung atau tempat melainkan orangnya, tetapi seringkali kita memahami dan merujuk gereja sebagai tempat umat bersekutu. Yang pasti dimana ada umat bersekutu di dalam Kristus disitulah gereja berada.
2. Gambaran tentang gereja
Alkitab khususnya Perjanjian Baru menggunakan istilah gereja dengan dua macam gambaran, antara lain:
a. Bangunan Allah
(I Kor. 3:9; 17:2; Ef.2:20-22; I Tim. 3:15) yang dipakai untuk menggambarkan keberadaan gereja, sebab Kristus sendiri merupakan batu penjuru dari bangunan ini (Mat. 16:18; I Kor. 3:11; I Ptr 2:6-7).
b. Tubuh Kristus (Ef. 1:22-23).
Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus yang ditekankan adalah kesatuan. Satu hal yang nampak jelas dari tubuh yaitu kesatuan. Meskipun dalam tubuh banyak terdapat keanekaragaman (kaki, mulut, tangan, dll) namun segala pertentangan ditiadakan. Rasul Paulus dalam Kolose 1:18 mengatakan bahwa Kristus-lah yang menjadi Kepala atas tubuh yakni Gereja. Semua anggota dipersatukan di dalam Dia, sehingga tubuh itu menjadi tanda keterikatan dalam persekutuan yang mendalam.
Dalam Roma 12:4, dikatakan tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama. Jadi gereja sebagai tubuh Kristus, di dalam cara hidupnya harus menampakan hidup Kristus, melalui kata-kata dan perbuatan yang harus diterangi oleh terang Kristus.
3. Sifat Gereja
a. Kudus
Kata “Kudus” berasal dari bahasa Ibrani קּאָﬢשׁ, qadosy yang berarti disendirikan, diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda dari yang lain. Kekudusan Gereja bukan karena ia kudus adanya, tetapi karena dikuduskan oleh Kristus. Rasul Paulus menyebutkan bahwa Jemaat adalah mereka yang dikuduskan di dalam Kristus (Fil.1:1 ; 1 Kor. 1:2 ; Ef. 1:1).
Gereja adalah kudus, diasingkan tapi bukan “mengasingkan diri” karena Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Adanya Gereja di dunia ini ialah untuk dipakai dalam karya penyelamatan Allah.
b. Am
Gereja adalah Am, khatolik, universal, tersebar di seluruh dunia. Am berarti umum, oleh sebab itu Gereja “menerobos” segala pembatas dan memiliki perpektif yang umum. Gereja sebagai yang am harus bersifat universal sebab kasih Allah itu ditujukan kepada dunia. Jadi Gereja bukan dan janganlah jadi suatu “golongan elite”. Gereja tidak terbatas pada suatu daerah/ suku/ bangsa atau bahasa tertentu tapi meliputi seluruh dunia (2 Kor. 5,19). Gereja tidak terbatas pada suatu zaman, tapi meliputi zaman yang lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
c. Persekutuan Orang Percaya/Kudus
Kata Persekutuan orang Kudus diterjemahkan dari Communio Sanctorum. Kata sanctorum berasal dari kata sancta atau sanctus yang berarti barang-barang atau orang-orang kudus. Sedangkan kata communion berarti persekutuan. Sehingga ungkapan gereja sebagai persekutuan orang kudus harus dipandang sebagai persekutuan di dalam Kristus oleh Roh Kudus. Jadi, gereja bukan terdiri dari orang-orang yang telah sempurna melainkan terdiri dari orang-orang berdosa sekalipun telah dikuduskan.
Maka ungkapan “persekutuan orang Kudus” harus dipandang sebagi suatu tugas yang masih harus diperjuangkan dan itu senantiasa mempunyai arti yang konkret dalam kenyatan hidup di dunia ini. Gereja sebagai persekutuan orang kudus mengarah kepada persekutuan dengan Kristus, persekutuan yang berdasarkan kasih, bahwa kita harus saling mengasihi karena Allah telah mengasihi kita (I Yoh. 4:11; II Yoh. 5; I Kor 12:26).
d. Satu
Gereja adalah kesatuan umat Kristen, tempat bersekutu sesuai dengan kehendak Yesus Kristus, kepala gereja. Satu dalam memberitakan Injil (Mat. 28,18-20), satu dalam mengemban misi, mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan (Mat.22,37-40), satu dalam iman dan pengharapan(Ef. 4:4-5). Oleh sebab itu dalam kepelbagaian kita, Tuhan mempersatukan kita. Di dalam kepelbagaian itu kita dapat bersatu menampakkan kepatuhan kita sebagai Gereja kepada Tuhan Yesus (Yoh. 17, 21)
Sementara itu dari sudut pandang (Kisah Para Rasul 2:42-47), ciri gereja yang hidup adalah:
1. GEREJA YANG BELAJAR ( a learning church)
2. GEREJA YANG MEMELIHARA (a caring church)
3. GEREJA YANG BERIBADAH ( a worshipping church)
4. GEREJA YANG MENGABARKAN INJIL (a evangelizing church)
II. APA ITU SPIRITUALITAS KEUGAHARIAN
Menurut KBBI, “ugahari” (atau ke-ugahari-an) adalah kesederhanaan, kesahajaan; walaupun harta yang bersangkutan melimpah ruah, ia hidup dalam “ugahari” dan sangat dicintai oleh rakyatnya.
Dengan itu bahwa “ugahari” adalah kesiapan untuk hidup sederhana, merasa pada dengan yang ada, tidak serakah dengan yang ada (kendati berlimpah-ruah). Ini juga menyiratkan bahwa seseorang yang hidup dalam ke-ugahari-an tidak harus bertarak (asketis) dalam kehidupan. Ia tidak perlu munafik dengan kehidupan ini. Yesus Kristus menjalani kehidupan yang sangat ugahari, sehingga bahkan bantalpun Ia tidak punya untuk meletakkan kepala-Nya (lihat Matius 8:20; Lukas 9:58).
Yohanes Pembaptis adalah contoh lain dari kehidupan ugahari itu, kendati sebagai seorang putra imam ia mempunyai hak-hak menikmati hidup. Banyak para nabi di era Perjanjian Lama memperlihatkan sikap hidup ke-ugahari-an itu. Intinya, di dalam menjalani kehidupan ugahari seseorang mampu mengendalikan dirinya. Ia sadar bahwa masih banyak orang-orang lain yang membutuhkan (apakah itu sandang, pangan, mau pun papan). Ia tidak akan menghabiskan persediaan (apapun) secara rakus dan loba sebab masih ada orang-orang lain yang membutuhkan.
Spiritualitas Keugaharian adalah kebijaksanaan hidup bahwa rahmat Tuhan cukup untuk semua ciptaanNya. Karena itu kita didorong mengendalikan diri dan hidup sederhana dalam sikap kecukupan dan bersedia berbagi dengan orang lain agar semua ikut merayakan kehidupan.
Spiritualitas Keugaharian mendorong kita untuk terus mengembangkan kualitas hidup dan pelayanan gereja dan masyarakat, sambil memelihara semangat berbagi dengan sesama tanpa memandang perbedaan identitas sosial, terutama dengan mereka yang paling lemah dan terpinggirkan.
Melihat realitas kehidupan sekarang ini, penerapan spiritualitas keugaharian menjadi hal yang tak terhindarkan. Di berbagai sudut pelayanan ini selalu kita bertatap muka dengan kemiskinan, kekurangan gizi, kesenjangan sosial, ketidakadilan, radikalisme serta perusakan lingkungan yang berdampak pemiskinan. Semua ini terjadi lantaran kerakusan dan ketidakpedulian manusia terhadap sesamanya dan lingkungannya. Banyak orang yang rela mati, merugikan serta mencelakai banyak orang hanya demi melampiaskan fanatisme yang dianutnya, gurita ketamakan terus meluas merusak dan mencemari alam ciptaan Allah yang telah diciptakan dengan amat baik, tanpa pernah berpikir tentang kelangsungan hidup di kemudian hari.
Dalam semangat pelayanan, memperhadapkan kita pada pilihan etis yaitu antara menyingkirkan atau merangkul, mendiskriminasi atau menghormati, mengeksploitasi atau melindungi, menindas atau melayani. Panggilan teologis kita dalam realitas keberagaman, baik antar dan internal gereja, adalah memberi respon sesuai dengan amanat Kitab Suci.
“Kita membutuhkan sikap keberagaman yang moderat, yaitu sikap yang halus, menjadi penengah, dan memiliki kedewasaan yang dicirikan dengan kemampuan melihat segala persoalan dari berbagai sudut. Selain itu kita membutuhkan sikap interdependensi, yaitu mengembangkan interaksi positif yang didasarkan pada kesetaraan, solidaritas dan sikap saling menghormati antar sesama yang diciptakan segambar dan secitra dengan Allah,” tandasnya. Bertumbuh bersama dalam keberagaman.
Bertumbuh bersama dalam keberagaman juga mengisyaratkan perubahan pola relasi baik antar maupun internal umat beragama. Sebuah perubahan dari relasi dominasi, segregasi dan diskriminasi menjadi relasi kesetaraan yang dilandasi semangat saling mengisi dan saling melengkapi. Sikap seperti itu bisa terjadi bila kita menghayati spiritualitas keugaharian yang menawarkan sikap tahu batas, mampu mawas diri dan memiliki kemampuan bersikap moderat di tengah keberagaman.
Keberlanjutan Kehidupan Spiritualitas keugaharian mengajarkan kita untuk mengendalikan keinginan-keinginan dan hawa nafsu. Dalam kehidupan kebersamaan, spiritualitas keugaharian berarti menghormati orang lain, menghormati kepentingan bersama, dan kemudian kita harus saling menolong. Dan dalam memahami agama kita banyak dikendalikan dan disandera oleh sejarah masa lalu yang sulit dihilangkan. Akibatnya selalu muncul kecurigaan, dan adanya keingian untuk mendominasi. Tetapi sekarang ini situasinya sudah berbeda. Dengan Spiritualitas keugaharian perlunya sikap kritis dan inovatif.
III. LANDASAN ALKITAB
a. Kajian Teks
Nabi Yeremia hidup pada waktu bangsa Israel mengalami pergolakan yang hebat. Kerajaan Yehuda yang kecil terjebak di tengah-tengah persaingan kerajaan-kerajaan besar. Situasi dimana kehidupan umat Israel Yehuda mengalami kesusahan, kesesakan hidup yang hebat.
Sebelum Yoyakhim berkuasa sebagai raja. Yosua telah menghapus peribadatan ilah-ilah asing, tetapi kemudian muncul dan menjadi menjamur peribadatan ilah-ilah atas kesedian dari Raja Yoyakhim.
Nabi Yeremia mulai berkarya sebagai nabi Allah tahun 627 SM ketika dia Masih muda, hadir menyampaikan nubuat Allah tentang malapetaka. Nabi Yeremia mengeluh kepada TUHAN, dan hukuman Allah kepada Yehuda sudah pasti akan terjadi.
Teks ini merupakan khotbah Nabi Yeremia yang berlangsung di dalam Bait Suci pada awal pemerintahan Yoyakim (609-598)
– (ayat 1-4) Khotbah ini diarahkan kepada kepercayaan orang orang Yahudi yang bersifat tahyul, bahwa kehadiran Allah dalam bait suci akan melindungi mereka dari musuh-musuh bagi Yeremia kepercayaan itu tidak akan mengubah keadaan buruk mereka karena mereka tidak jujur atas kenyataan yang mereka lakukan tiap hari.
– (ayat 5-9) Khotbah ini bertujuan untuk mengajak umat orang-orang Yahudi agar mengubah segala bentuk kejahatan yang diperbuat : pemerasan hak orang asing, penyembahan berhala, tindakan social yang menindas dan membinasakan…Ayat 9, mereka mencuri, membunuh dan berzinah, member kesaksian dusta. Karena itu khotbah ini juga diarahkan untuk memperbaharui diri dan sikap mereka.
– Ayat 10-11) ungkapan kita selamat… sarang penyamun : ungkapan ini menjelaskan bahwa ada umat dan nabi memakai bait Allah dan peribadatannya seperti “jimat keberuntungan”. Hidup mereka sebenarnya tidak bermoral lagi dan menyimpang jauh dari hukum Allah. Namun, orang yahudi tetap pergi ke bait Allah da beribadah disana untuk menutupi kenyataan hidup mereka yang sesungguhnya.
Ada seruan dari Nabi Yeremia : (ayat 12-15)
– Perbaikilah “tingkah lakumu” dan “perbuatanmu”, (wujud dari ajakan pembaharuan diri) : tidak munafik, tetapi tulus, tidak goyah tetapi teguh, tidak setengah-tengah tetapi sepenuh hati.
Mereka tidak boleh menindas orang lain, atau orang asing, yatim dan janda. Mereka menjadi pencuri, pembunuh, bersninah, bersumpah palsu, mengikuti “allah” bangsa-bangsa lain.
– Dampak dari pembaharuan diri maka Allah mau hadir bersama mereka umat Yahudi baik Kristen maupun non Kristen. Maka Aku Allah akan membuat kamu berdiam dengan tenang dan damai ditempat ini.
– Bangsa Yahudi secara tidak sadar menjadikan bait suci sebagai tempat sarana untuk menutupi segala kejahatan pelayanan mereka (sarang penyamun) (bdk. 7:32, 8:3). Karena itu dalam ayat 12 sudah pasti bahwa silo[2], pusat peribadatan akan hancur meskipun di dalamnya ada tempat kudus ALlah
Dengan demikian Nabi Yeremia menyampaikan kabar mengejutkan untuk membangun kesadaran mereka terhadap konsep pelayanan yang harus mereka kerjakan bersama.. karena itu diserukan dalam catatan nabi Yeremia sudahkah rumah yang atasnya namaKu diserukan ini dan yang merupakan tanda tetap dari kerajaan Allah? Sudahkah rumah ini menjadi sarang penyamun di matamu?, kamu kira rumah itu dibangun sebagai tempat pertemuan dan juga sebagai tempat pelarian dan perlindungan bagi para penjahat besar?.
b. Kajian Konteks
Sudah barang tentu, bahwa Pelayanan Gereja tidak terlepas dari dua faktor yaitu orang yang menjalankan pelayanan dan sebuah organisasi yang mengatur model model pelayanan ke depan.
Konteks yang terjadi saat ini, bahwa Pelayanan Para iman semakin kurang untuk melihat persoalan-persoalan sosial, yang terjadi di masyarakat. Gereja seharusnya menjadi medan gumul bersama membangun kerangka kerja yang menyambungkan pelayanan di dalam gereja (ritual) dan pelayanan diluar gereja (social service).
Para pelayan pun mempunyai peran yang penting dan mendasar dalam membangun rule pelayanan yang menyentuh secara langsung kehidupan warga jemaat dalam menjalani hidup bersama. Bagaimana menciptakan rumah/bait Allah yang bukan hanya tertumpuk pada acara di dalam gereja ritual, tetapi bagaimana gereja terjun langsung dalam menanggulangi masalah, sosiologi, ekologi, budaya, agama, keamanan dan lain-lainnya menjawab tantang perubahan zaman ke depan.
Apalagi masalah besar yang terjadi adalah bahaya Virus Covid19. Tentu mengarahkan kita pada cara / model pelayanan yang berwajah baru di masa masa saat ini dan akan datang.
Dalam masa sengsara yang sedang kita jalani, saat ini, Banyak bentuk pelayanan yang juga mengedepankan semangat konsumerisme, kemewah-mewahan. Tetapi yang tidak kalah penting adalah para pelayan membangun konsep teologi kemakmuran[3] tetapi tidak hidup dalam berbagi belas kasih/pertologan kepada siapapun warga jemaat atau masyarakat yang tidak dikenal maupun dikenal.
c. Pertanyaan Aplikatif
1. Apakah pelayan mampu melaksanakan semangat spiritual keugaharian itu bukan hanya dalam gereja sebagai bahasa bahasa khotbah, tetapi dalam keseharian hidup bersama ?
2. Bagaimana para pelayan merawat dan menyemangati sikap hidup yang mengedepankan kesederhanaan, kecukupan, dan keseimbangan dalam pelayanan gereja?
3. Langkah-langkah pelayan dalam menghadirkan tanda rahmat bagi umat Tuhan dalam menjaga sesama dan alam sekitarnya?
Post Comment